Jumat, 24 Agustus 2012

Sajak Sepetak Sawah

Masihkah terselip riang di retak kerontang ketika mimpi tak lagi luang menimang petang?

Ia mesti pulangkan setiap ayunan cangkul pada matahari dan hujan, agar leleh peluhnya yang kembali sigap menangkap larik-larik terik hingga datang seorang berkebaya usia baya setia menenteng pengusir lapar dan dahaga. Lalu ia bergegas mengusir lumpur di kaki dan tangan dengan genangan air yang tak mengalir dekat pematang. Olah tanah harus disegerakan sebelum musim berubah perangai, dan benih-benih nafas keluarga tak boleh tertunda ditanam.

Bulan kemudian mengeriting menunggui masa-masa genting. Kemana kelak bulir-bulir hendak menggilir deretan hari di penanggalan. Meski ia telah terbiasa, namun di tengah nilai yang terengah, segala yang mendesak membuat ia terengah-engah.

Seperti yang sudah-sudah, angin selalu beku dan begitu gigil saat musim kawin ketika serangga bersekutu bersama hama dan gulma. Ternyata kantong mesti ditodong lebih lorong agar penawar bisa disebar biarpun terasa hambar.

Telah banyak pertaruhan coba ia tumbuhkan di luas hamparan sebelum dikembalikan kepada Tuhan melalui kesabaran dan tengadah tangan agar setiap bulir padi terisi. Meski akhirnya ia lebih mengalah pada pupuk dan pestisida.

Tasikmalaya, Juni 2010 - Agustus 2012

Tidak ada komentar: